Assalamu'alaikum Wr. Wb.

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB.
Selamat datang di blog saya, silahkan baca dan download jika bermanfaat.

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net
Selasa, 17 Mei 2011

postheadericon Pembinaan Guru Agama Islam

Kegiatan pembinaan guru agama Islam memang sangat perlu dilakukan, apalagi guru adalah pembinan siswa/i sekolah yang harus memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anak didiknya. dewasa kini kita banyak melihat pengajar yang asal-asalan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terlepas dari latar belakang pendidikan guru yang bersangkutan, yang terutama adalah bagaimana ia membimbing jasmani dan rohani anak didiknya menjadi lebih baik, .....

Kamis, 12 Mei 2011

postheadericon Rukun Khutbah2


Rukun Khutbah Jum’at
Rukun khutbah Jum’at dalam Madzab Syafi’i,
1. Memuji kepada Allah (Dengan membaca: “al-hamdulillah, atau, ahmadullah, atau hamdan lillah, dan semacamnya”) dalam setiap khutbah pertama dan kedua.
2. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah, satu dan dua (salawatnya: “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, dan atau semacamnya”)
3. Berwasiat untuk melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya: “ittaqullah, atau athi’ullah, atau ushikum bitaqwallah, dan atau semisalnya”)
4. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur`an.
5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua.
Rukun di atas adalah rukun khutbah dalam madzab Syafi’i. Menurut mazhab ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun pesan-pesan lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah.

Adapun Mazhab-mazhab lainnya adalah sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi, rukun khutbah adalah satu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek. Menurut Mazhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini berpendapat bahwa khutbah bisa disampaikan dalam bahasa apa saja, tidak harus bahasa Arab.
2. Mazhab Maliki, rukun khutbah menurut mazhab ini adalah satu hal, yaitu ungkapan yang memuat kabar gembira (dengan janji-janji pahala dari Tuhan) atau peringatan (bagi orang-orang yang suka melanggar aturan Tuhan). Mazhab ini berpendapat bahwa keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada yang mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat Jum’at gugur untuk dilaksanakan.
3. Mazhab Hanbali, rukun khutbah menurut mazhab ini ada empat hal, yaitu:
a. Bacaan “alhamdulillah” dalam setiap khutbah, satu dan dua.
b. Salawat atas Nabi Muhammad.
c. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur’an.
d. Wasiat untuk melakukan ketakwaan.
Mazhab ini juga berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu. Bagi yang tak bisa berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang dimampui, khusus untuk ayat al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan bahasa lain.

postheadericon Rukun Khutbah




Peranyaan dari Sudarmawan
assalamu alaikum,
kaif halk ustadz,smg tetap dalam lindungn Allah SWT sekeluarga, ammmiiin.  apa saja rukun kutbah itu, dan bagaimana hukum meninggalkan salah satu rukun khutbah tersebut? krn setahu ana,Syahadat itu termasuk rukun dari khutbah. krn ana pernah kutbah di suatu masjid sidoarjo, waktu itu di kutbah yang ke dua,ana tdk membaca sholawat, setelah selesai kutbah, takmirnya langsung berdiri dan menyatakan bahwa kutbah ana tidak sah, maka saat itu kutbah diulangi lagi oleh takmir. krn menurutnya, kalo kutbahnya tdk sah maka harus mengulangi solat. pertanyan ana: apa memang seperti itu?, kalo memang bener, pada jumat kemarin (9 mei 2009), khotib di mahad seingat ana dan juga teman teman, dia tidak membaca syahadat, waktu itu teman-teman tanya pada ana, namun ana suruh tanya yang lebih faham aja,karena saat itu, ustad fauzi serta ustadz wafi serta ustadz-ustadz yang lain juga ada di sana. kalo memang itu salah, hendaknya di tegur supaya tidak terulang lagi. sukron, af 1.
 Jawab
Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh
Al hamdulillah saya sekarang dalam keadaan sehat. Ma’af kalau lama menunggu jawaban saya di blog, karena saya baru saja sakit, sehingga nggak bisa nulis lama di depan komputer. Dan ma’af kepada penanya yang lain yang mungkin udah cukup lama menunggu jawabannya.
Tentang rukun khutbah para ulama madzhab empat tidak sepakat berapa jumlahnya dan bahkan apakah khutbah jumat itu sendiri memiliki rukun yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali, mereka berbeda pendapat. Madzhab Syafi’I dan Ahmad di satu sisi dan Madzhab Maliki dan Hanafi di sisi lain. Sebab perbedaan itu adalah karena tidak ada perintah khusus dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang cara berkhutbah. Tetapi yang ada adalah riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang cara dan kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berkhutbah. Jadi hanya perbuatan beliau saja yang diriwayatkan, bukan perintahnya. Sedangkan para ulama sepakat bahwa sunnah qouliyah nilai dalalahnya terhadap suatu hukum lebih rendah daripada sunnah qouliyah yang berupa perintah dan larangan. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah itu pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan larangan itu menunjukkan keharaman. Tetapi perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih harus diselidiki lebih dahulu, tidak selamanya menunjukkan kewajiban. Inilah beda antara sunnah qouliyah dan sunnah fi’iliyah dalam penunjukkannya terhadap suatu hukum.
Nah dalah khutbah ini yang diriwayatkan adalah hanya kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja dalam berkhutbah. Contohnya hadits yang diriwaatkan oleh Imam Muslim ( V/404, no. 2043) :
عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قال :  كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِى عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلاَ صَوْتُهُ
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia berkata : “Kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah pada Hari Jum’at adalah dia membaca hamdalah dan memuji Allah, kemudian dia mengatakan maksud khutbahnya setelah itu, sedangkan suaranya sudah meninggi”.
Demikian juga diriwayatkan hadits-hadits yang tentang membaca shalawat, ayat AlQur’an, berwashiat taqwa dan berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin. Semuanya menceritakan kebiasaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Beliau hanya membiasakannya. Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentangnya.
Madzhab Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa rukun khutbah itu ada 5, dengan adanya perbedaan diantara mereka apakah semuanya itu harus dilakukan di dalammasing-masing khutbah yang bejumlah dua itu ataukah cukup hanya dilaksanakan pada salah satu dari keduanya saja. Yaitu :
  1. membaca hamdalah
  2. berwashiat taqwa
  3. membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
  4. membaca ayat Al Qur’an
  5. berdo’a untuk kaum mukimin
Sedangkan dua madzhab yang lain tidak menganggap semua yang disebutkan di atas itu sebagai rukun khutbah. Bahkan Madzhab Hanafi menyatakan bahwa satu khtbah saja suah cukup. Karena mereka berprinsip yang penting suatu perkataan dapat disebut sebagai khutbah menurut bahasa, maka itu sudah sah. Karena yang diperintahkan adalah berdzikir seperti yang disebutkan dalam Surat Al Jum’ah : “Maka segeralah menuju kepada dzikir kepada Allah”. Para ulama tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah khutbah, sedangkan perintah khusus untuk khutbah ini bagaimana tata caranya tidak dijelaskan. Jadi semuanya kembali kepada makna bahasa dari kata khutbah itu. Mereka menyebutkan sebuah atsar dari Utsman bahwa ketika beliau dibai’at pada hari pertamanya, kemudian beliau berkhutbah, maka beliau hanya mengucapkan Al Hamdulillah, kemudian menutup khutbahnya, turun dari mimbar dan shalat. Padahal kejadian ini dihadiri oleh para sahabat yang sangat banyak dan mereka tidak mengingkarinya ( Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu : II/442).
Adapun Madzhab Syafi’I dan Ahmad bersandar kepada sebuah hadits yang sangat masyhur : “Shalatlah kalian seperti melihat saya shalat”. Sedangkan kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam berkhutbah adalah dengan tidak meninggalkan kelima hal tersebut di atas.
Itulah pendapat dari para ulama madzhab empat tentang rukun khutbah.
Nah, mengikuti apa yang dibiasakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang paling utama, apalagi jika hal itu dibiasakan oleh beliau sepanjang khutbahnya.
Tetapi karena tidak ada perintah yang tegas dalam hal ini, maka menganggapnya sebagai rukun adalah sesuatu yang menurut saya pribadi kurang pada tempatnya. Apalagi jika ada seorang khatib yang mungkin kelupaan dalam mengucapkannya salah satu dari kelima hal tersebut di atas, kemudian takmir masjid berdiri dan menyatakan kalau khutbahnya tidak sah adalah suatu tindakan yang tidak terpuji. Karena ada solusi lain yang lebih baik, diantaranya :
  1. mengingatkan khatib ketika masih berada di atas mimbar bahwa ada rukun yang tertinggal, sama seperti ketika seorang makmum mengetahui imamnya salah ketika shalat. Dia langsung mengingatkannya. Perintah untuk diam ketika khatib sedang berkhutbah, bukan berarti harus mbegegeg (tidak bergerak sama sekali) bahkan ketika melihat jelas ada orang yang akan bunuh diri di luar masjid misalnya. Ini suatu kekeliruan pemahaman yang cukup parah di negeri ini. Lihatlah sering kita melihat di banyak tempat orang yang berjamaah di mana baris di depannya kosong karena ditinggal oleh jama’ah yang berhadats untuk berwudlu. Tetapi orang ini tetap diam di tempat saja, tidak mau mengisi baris yang kosong itu, karena bergerak tiga kali lebih membatalkan shalat katanya.
  2. bisa jadi imam itu adalah mengikuti pendapat Madzhab Hanafi dan Maliki di mana mereka menganggap lima hal itu bukan rukun khutbah. Nah jika demikian, bukankah lebih baik saling toleransi antara sesama muslim, seperti pada masalah khilafiyah yang lain. Jika memang ada dalil khusus yang tegas dalam hal ini, saya yakin Imam Abu Hanifah dan Imam Malik akan menyatakan bahwa lima hal itu adalah rukun.
Adapun yang terjadi di ma’had kita beberapa hari yang lalu, seingat saya khatib sudah mengucapkan lima hal di atas, hanya dengan singkat sekali dan semuanya dengan bahasa Arab yang sangat pendek. Dan itu sudah memenuhi rukun jika memang semuanya tu dianggap sebagai rukun. Jadi tidak ada yang perlu dirisaukan dan dipermasalahkan dalam hal ini.
Saya kadang tidak habis pikir terhadap kebiasaan dan perilaku ummat ini. Mereka lebih memilih mempersulit diri dalam hal-hal yang bersifat khilafiyah, seperti pada permasalahan air misalnya, bersuci dari najis misalnya. Kadang-kadang mereka keterlaluan sekali dalam kehati-hatiannya. Seperti mereka yang berpendapat adanya air musta’mal. Mereka menyatakan bahwa jika membasuh tangan pada waktu wudlu, kemudian air itu dialiran sejak dari lengan, maka air yang akan sampai pada siku-siku sampai jari-jari adalah air yang musta’mal. Karena air itu sudah digunakan untuk membasuh bagian yang tidak wajib dibasuh, yaitu bagian atas siku-siku. Sebuah pendapat yang sama sekali tidak ada dasarnya.
Jika saja kehati-hatian itu diarahkan kepada sesuatu yang memang sangat perlu, terutama yang berhubungan dengan kemashlahatan umum, maka pasti ummat ini akan lebih baik. Misalnya kehati-hatian dalam masalah riba, dalam mencari rizki. Jika separoh saja dari ummat Islam di negri ini berhati-hati tentang masaah riba, pastilah bank-bank riba itu akan bangkrut dan bank-bank syari’ah akan jaya. Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Padahal apalah artinya seseorang yang behati-hati dalam shalatnya, tetapi ceroboh dalam rizkinya. Tidak akan ada gunanya. Karena daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih layak untuknya.
(sumber : Samudra Ilmu Agama Islam)
Rabu, 11 Mei 2011

postheadericon Isti'jal ?

ISTI'JAL

Menurut bahasa, kata isti’jal, i’jal, dan ta’ajul memiliki satu arti, yaitu : menuntut sesuatu dikerjakan atau diselesaikan dengan cepat atau segera. Sedangkan menurut istilah para penggiat amal Islam ialah : mengubah kondisi atau realita kehidupan kaum Muslimin dalam waktu sekejap, atau kurang dari sekejap mata tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub (metode) dan wasilahnya.

A’jalah dan isti’jal (menggesa) ini merupakan tabiat manusia sebagaimana kesaksian penciptanya.
“Dan manusia berdoa untuk kejahatan, sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Karena manusia sifatnya tergesa-gesa.” (Al Isra’ : 11).
“Manusia diciptakan bertabiat ingin segera..” (Al Anbiya : 37).

Indikasi Isti’jal

Isti’jal dapat terwujud dalam beberapa bentuk perbuatan antara lain :
  1. Merekrut banyak orang untuk menjadi kafilah juru dakwah atau penggiat amal Islam sebelum diketahui kredibilitasnya, kemampuannya, persiapan serta kesiapannya.
  2. Mengangkat sebagian juru dakwah ke tempat yang tinggi sebelum matang dengan sempurna dan sebelum lurus kepribadiannya.
  3. Melakukan tindakan-tindakan secara gegabah yang membahayakan dakwah dan tidak berfaedah.

Akibat-akibat Isti’jal

Semua bentuk isti’jal yang disebutkan diatas mempunyai dampak dan akibat sebagai berikut:

  1. Menyebabkan futur, loyo, lemah, malas, patah semangat bahkan menjadi predator penggiat amal Islam.
  2. Dapat menyebabkan kematian yang tidak terhormat.
  3. Menjadikan pekerjaan tersia-sia, atau paling tidak, mengalami kemunduran hingga berpuluh-puluh tahun.

Hal ini disebabkan, isti’jal selalu mengotori kehidupan, menyulut pertumpahan darah, menguras harta, melecehkan harga diri, dan menambah batu-batu dan rintangan di tengah jalan.

Sebab-sebab Isti’jal

Kalau demikian akibat yang ditimbulkan oleh isti’jal, maka haruslah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan isti’jal itu, sehingga dapat ditentukan pula langkah-langkah terapinya. Nah, apakah gerangan sesungguhnya faktor-faktor yang menyebabkan isti’jal itu? Sesungguhnya penyebabnya banyak sekali antara lain :

  1. Dorongan nafsu.
Ada kalanya dorongan nafsu menjadi penyebab terjadinya isti’jal. Sebab isti’jal sudah merupakan tabiat yang ada dalam diri manusia. Jika penggiat amal Islam tidakberusaha mengekang dirinya (nafsunya) dan tidak mengendalikannya dengan akal yang sehat, serta tidak mengerem gejolaknya, sudah tentu hal ini akan mendorongnya bersikap isti’jal.
  1. Semangat yang menggebu-gebu atau iman yang menyala-nyala.
Hal ini disebabkan keimanan itu bila sudah kuat dan menghujam kokoh dalam qalbu akan menumbuhkan kekuatan yang besar dan semangat yang menggebu-gebu. Apabila tidak dikendalikan dan diarahkan akan dapat mendorong yang bersangkutan untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang kurang terkontrol sehingga menimbulkan madharat yang lebih banyak daripada manfaatnya. Ini barangkali rahasia Allah memberikan pengarahan kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat agar bersabar, tabah, dan teguh menanggung beban dan penderitaan.
  1. Tabiat waktu.
Hal ini disebabkan kita hidup dalam kurun waktu yang terasa begitu cepat berlalu dan segala sesuatu bergerak begitu cepat.
  1. Karena Musuh-musuh Islam
Ada kalanya ulah musuh-musuh Islam memicu terjadinya isti’jal. Sebab, sekarang ini tiada hari yang sunyi dari uasaha-usaha musuh Islam untuk menguasai dunia Islam. Musuh Islam akan membungkam semua suara yang hendak mengumandangkan kebebasan dan kemerdekaan.
  1. Tidak mengetahui taktik musuh Islam
Ketidaktahuan terhadap taktik dan strategi musuh kadang-kadang menjadi pemicu isti’jal. Taktik yang paling membahayakan dan memperdayakan ialah segolongan dari musuh Islam menyatakan keIslamannya kepada kaum muslimin dan menyembunyikan kekafiran, dendam, dan kesesatan dalam qalbu.
  1. Banyak kemungkaran tetapi tidak tahu metode untuk mengubahnya.
Sebab sekarang ini manusia dikepung oleh kemungkaran-kemungkaran dari segala penjuru dunia, sedang orang muslim yang melihat suatu kemungkaran berkewajiaban memberantasnya dan mengubahnya, supaya tidak terjadi kerusakan. Perlu diketahui, bahwa tidak setiap kemungkaran harus diberantas sekaligus dan serta merta, melainkan dengan syarat bahwa pemberantasan itu jangan sampai mendatangkan kemungkaran atau kerusakan yang lebih besar.
  1. Tidak mampu menangung beban dan penderitaan.
Hal ini disebabkan sebagian penggiat amal Islam memiliki keberanian dan semangat yang tinggi untuk melakukan amalan yang bersifat berkala, meskipun dalam melaksanakannya ia menghadapi bahaya maut. Tetapi di balik itu ia tidak memiliki kemampuan untuk menanggung beban dan penderitaan di jalan perjuangan dalam waktu yang panjang. Padahal, keperwiraan yang sebenarnya ialah yang disertai dengan kesabaran, keuletan, ketabahan, dan kesungguhan sampai akhir hayat. Karena itu engkau lihat dia selalu terburu-buru agar segera dapat menyelesaikan tugas dan terlepas dari beban.
  1. Karena mengandalkan sebagian persiapan dan sarana dengan tidak memperhitungkan akibatnya.
  2. Tidak adanya program yang matang untuk mengendalikan potensi yang ada.
  3. Bekerja dengan tidak bercermin kepada orang yang lebih mengerti dan lebih berpengalaman.
  4. Melupakan sunnah Allah terhadap semesta, terhadap nafs (jiwa), dan terhadap tasyri’ (pembuatan peraturan).
  5. Melupakan tujuan yang hendak di capai orang muslim.
  6. Melupakan sunnah Allah terhadap para pelanggar dan orang-orang yang mendustakan.
  7. Bersahabat dengan orang-orang yang biasa terburu-buru.

Jalan Untuk Mengobati Isti’jal

  1. Memperhatikan bekas-bekas dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh isti’jal. Karena, yang demikian itu akan menimbulkan ketenangan dan menghasung orang untuk tidak menggesa dalam mengerjakan sesuatu.
  2. Selalu memperhatikan kitab Allah Azza wa Jalla. Pengetahuan terhadap sunnah Allah ini akan menjadikan jiwa tenang dan menolongnya untuk bersikap cermat, hati-hati, tidak menggesa, dan penuh pertimbangan.
  3. Rajin menelaah sunnah dan sirah Nabawiyyah. Karena dengan begitu kita akan mengetahui bagaimana ujian dan penderitaan yang dihadapi Rasulullah saw. Bagaimana beliau bersabar dan tabah serta tidak beristi’jal.
  4. Mengkaji kitab-kitab tarikh dan biografi ulama-ulama salaf dan mujahid-mujahid Islam tempo dulu.
  5. Bertindak di bawah bimbingan orang-orang berpengetahuan dan berpengalaman.
  6. Bertindak sesaui dengan manhaj dan terprogram, jelas dasarnya, dan tertentu tujuannya serta meliputi semua aspek kehidupan.
  7. Memahami dengan baik, dan cermat terhadap program, langkah dan metode musuh-musuh islam.
  8. Tidak takut dikuasai musuh, juga tidak mengkhawatirkan bahwa mereka akan menguasai dunia Islam. Sebab, kekuasaan mereka akan lenyap entah kapan waktunya, sedang yang demikian itu bagi Allah tidaklah sulit.
  9. Berjuang untuk mengendalikan nafsu dan melatihnya bersikap cermat, hati-hati, tidak terburu-buru, dan selalu mempertimbangkan sesuatu.
  10. Selalu mengingat tujuan atau sasaran yang karenanya seorang penggiat amal Islam dapat hidup secara Islam.
  11. Selalu mengingat posisi orang muslim terhadap kemungkaran dan uslub (metode) untuk mengubah kemungkaran tersebut.

Sesungguhnya medan perkataan bukanlah medan khayalan, medan perbuatan bukanlah medan perkataan, medan jihad berbeda dengan medan amal, dan medan jihad yang benar tidak sama dengan medan perjuangan yang keliru. Mudah sekali bagi kebanyakan orang untuk mengkhayal, tetapi tidak semua pengkhayal dapat mengemukakan dengan lisannya apa yang digambarkan dalam qalbunya. Banyak sekali orang yang mampu mengucapkan apa yang mereka khayalkan, tetapi sedikit sekali di antara mereka yang teguh ketika memasuki medan amal perbuatan. Banyak juga diantara mereka yang sedikit ini untuk berbuat, tetapi sedikit sekali diantara mereka yang mampu memikul beban perjuangan yang berat dan pekerjaan yang sulit. Mujahid-mujahid pilihan yang sedikit jumlahnya itu kadang-kadang juga salah jalan dan tidak tepat sasaran, jika tidak dibarengi dengan inayah (pertolongan) Allah. (snd)

Referensi :
Terapi Mental Aktifis Harakah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Pustaka Mantiq, 1993, Solo.

postheadericon PENYEBAB ISTI'JAAL : AKIBAT PERUBAHAN ZAMAN


Perubahan Zaman :
Terjadinya perubahan zaman dapat pula mendorong seorang aktivis dakwah dan tokohnya berbuat isti'jaal. Saat ini kita tengah hidup dalam era globalisasi, di mana segaga sestuatu berlalu dan berjalan dengan cepat dan transparan. Tidak jarang para aktivis dakwah dan para tokohnya larut ke dalam nilai-nilai baru, dan menjad longgar terhadap nilai-nilai yang mula-mula menjadi manhaj perjuangan, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang sekuler.
Kondisi perubahan serba cepat, dan sarana-sarana modern, dan kehidupan yang penuh dengan tawaran duniawi itu, melenakan para aktivis dakwah dan para tokohnya, yang kemudian mereka larut dan menceburkan dengan kehidupan duniawi, dan menikmati kekuasaan, dan melupakan tujuan perjuangan yang semula hendaknya ditegakkannya. Dengan adanya peluang yang didapatkan melalui sarana dan kekuasaannya yang didapatkannya itu, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya kemudian, terjatuh ke dalam perbuatan isti'jaal. Tidak lagi memperhatkan rambu-rambu dakwah. Tetapi, yang diikuti nilai-nalai baru, yang sudah menyimpang dari tujuan dasarnya.
Dorongan Hawa Nafsu:
Banyak aktivis dakwah dan para tokohnya yang walaupun mereka memahami nilai-nilai dan prinsip (mabadi') Islam, tetapi karena sudah terlalu dominan hawa nafsunya, dan tidak dapat bersabar dengan mengekang hawa nafsunya, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya bisa saja terjatuh ke dalam isti'jaal.
Kehidupan modern yang sangat "comfort" (penuh dengan kenikmatan duniawi), mengakikbatkan jiwa-jiwa para aktivis dakwah itu menjadi rapuh. Mereka tidak mampu bertahan dengan badai kehidpan yang penuh dengan warna duniawi. Aksesoris duniawi, seperti kemewahan dalam bentuk benda, mobil, rumah, dan prenak-prenik lainnya, mengikis idealisme. Apalagi, bila aktivis dakwah itu tidak sabar, sudah lama dalam hidup yang serba terbatas, kemudian mendapatkan peluang melalui kekuasaan, kemudian faktor itu menyebabkan aktivis itu bertindak isti'jaal.
Tidak Mengetahui Strategi :
Dalam upaya melancarkan serangan serta menundukkan dunia Islam, pihak musuh memiliki bermacam-macam metode dan strategi. Selain dengan cara unjuk kekuatan, mereka juga kerap mencoba memasukkan orang-orangnya ketengah-tengah kaum Muslimin. Lalu terjadi perpecahan. Mereka memasukkan pemikiran dan nilai-nilai baru, dan kemudian terjadi konflik di dalam gerakan dakwah itu.
Tetapi, yang paling penting mereka ingin mengetahui strategi perjuangan dan gerakan dakwah itu. Mereka ingin mengetahui secara akurat. Kemudian, mereka melaporkan dan menjadi bahan kajian untuk kemudian membuat stategi dan langkah menghancurkan kekuatan harakah dakwah itu.
Mereka memasukkan orang-orangnya ke dalam gerakan dakwah itu. Semisal melakukan "planted agent" (agen yang ditanam) ke dalam gerakan itu, dan kemudian mereka memporak-porandakan gerakan dakwah itu sampai hancur. Bahkan, tidak jarang musuh, semisal Yahudi,menanamkan ke dalam gerakan orang-orangnya untuk menyusup, dan kemudia menciptakan kondisi pemikiran, yang kemudian tokoh-tokoh itu, mengubah dan menyelewengkan tunjuan dari gerakan dakwah itu. Sehingga, gerakan itu gagal mencapai tujuannya.
Inilah ancaman dari isti'jaal yang kadang-kadang para pelaku gerakan dakwah tidak menyadari kondisi seperti itu. Apalagi, jika kondisi gerakan itu, jumud dan ditanamkan taklid, dan tidak dibiasakan pengikutnya untuk berpikir dan mengalisis segala persoalan, dan kesempatan itu hanya diberikan kepada para tokohnya. Maka sangat dengan mudah gerakan itu cenderunga isti'jaal.
Maka dengan cara itu, para tokohnya dapat bertindak apa saja, dan kemudian gerakan itu melakukan penyimpangan, sementara itu, para pengikutnya masih menyakini gerakan dakwah itu masih dijalannya yang benar. Ini yang menyebabkan kebangkrutan gerakan dakwah itu. (sumber : eramuslim)
Selasa, 10 Mei 2011
Asw. ini bacaan tentang HALAL dan HARAM yang saya dapat dari DIKLAT Aparat Pembina Produk Halal di Denpasar Bali ... silahkan di download ....

postheadericon GENDER MENURUT ISLAM


Penulis pada suatu waktu diminta untuk memberikan materi pada acara yang diadakan oleh satu LSM, dan mereka meminta penulis untuk menyampaikan materi tentang Gender dalam Islam. kebetulan pada saat itu diundang pula Pendeta dan TOGA lainnya, dengan peserta mayoritas Katolik dan Protestan, inilah diantara materi yang penulis sampaikan :
Perbedaan pendapat tentang "Gender" selalu hangat untuk diperdebatkan, oleh kalangan agamawan, akademisi, politisi bahkan ibu rumah tangga. Umumnya perdebatan yang terjadi terkait masalah batasan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban dalam setiap aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kata "Gender" sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan pengkajinya. Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Webster's New World Dictionary, mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Selanjutnya, H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "Jender". Gender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan". Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya (An-zhimah Al-Mujtama). Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Terhadap pria dan wanita, Islam bersikap demikian egaliter. Islam secara tegas menolak hierarki berdasarkan gender di tengah-tengah masyarakat. Pria bukanlah warga kelas satu dan wanita bukanlah warga kelas dua. Pola hubungan pria-wanita dalam Islam adalah berdasarkan kemitraan dalam ketakwaan dan kebajikan, bukan relasi majikan dengan bawahan. Sebab, secara fitri, manusia, baik pria maupun wanita, diberi potensi kehidupan yang sama oleh Allah Swt. Kebutuhan jasmani, naluri, dan akal keduanya adalah setara. Di depan hukum syariat, kedudukan pria dan wanita adalah juga setara. Mereka adalah mukallaf yang memiliki tanggung jawab untuk menjalankan syariat Allah Swt. Dalam berbagai nash, seruan kepada wanita sama dengan seruan yang ditujukan kepada pria, baik dengan sebutan “manusia” atau “orang-orang yang beriman”.
Hubungan pria dan wanita pada institusi pernikahan sendiri lebih dari sekadar hubungan kemitraan. Dalam pandangan Islam, seorang istri adalah sahabat (shâhibah) suami dalam keluarga. Secara bersama, dengan jalinan ikatan pernikahan, mereka wajib membangun keluarga dengan peran dan tanggung jawab yang telah ditentukan oleh syariat. Seorang suami berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sementara wanita adalah seorang ibu dan ‘manajer’ rumah tangga mereka. Pada wanita, juga ada hak penyusuan dan pengasuhan anak. Berbagai nash dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin yang menunjukkan bahwa kaum ibu memiliki hak pemeliharaan bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Diantara nash (dalil) Al-qur’an yang menyatakan hal tersebut adalah:
“ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, ....”. (Al-Ahqaaf:15)
Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan.  Hal ini adalah sesuatu yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami pria. Al-Qur’an menegaskan :
” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqoroh:228)
Kelebihan itu adalah Qowamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Namun peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Islam menekankan pentingnya nasehat dan persetujuan bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi kita contoh:
” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (QS. Albaqarah:233)
Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik danTpersahabatan.
Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan), bahkan ada yang mengadukan suami mereka langsung kepada Rasulullah - sehingga Rasulullah menasehati dan jika sudah tidak bisa di satukan mereka diperbolehkan berpisah dengan baik-baik. Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkan.
Meski kesetaraan pria dan wanita adalah hal yang hakiki, tetapi tetap tidak bisa dipungkiri adanya realitas perbedaan biologis dan karakter di antara mereka berdua. Perbedaan itulah yang kemudian akan membedakan peran mereka dalam kehidupan publik dan domestik. Ketidaksamaan itu tidaklah datang dari suatu budaya atau tata nilai tertentu, tetapi justru merupakan bagian yang secara inheren telah melekat pada mereka sebagai bagian dari proses penciptaan. Dengan demikian, adanya sejumlah hukum syariat yang secara khusus ditujukan kepada kaum wanita ataupun pria adalah suatu kemestian. A-Qur’an memberikan pandangan optimis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'raaf/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka"(Q.,S. Al-Baqarah/2:187). Jika dilihat dari beberapa ayat diatas, maka Islam sangat memberikan perhatiannya terhadap keadilan antara laki-laki dan perempuan, semua di mata Allah SWT akan sama, kecuali dalam amalnya.
Demikian Islam memberikan kebebasan kepada perempuan yang bisa beraktivitas dalam politik, ekonomi dan sosial untuk bergerak di dalamnya, tetapi kemudian Islam memberikan nasihat kepada perempuan untuk tetap memberikan perhatian dan melakukan tindakan konkrit untuk selalu menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, pendidikan anak dan menjaga harta keluarga, hal ini harus dilakukan bahkan sesibuk apapun perempuan di luar rumah tangga. (dari berbagai sumber)

Entri Populer

Jam Bismillah

UTAMA

About Me

Foto Saya
Abu Ghibran Al Ghifari
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut