Rabu, 11 Mei 2011
PENYEBAB ISTI'JAAL : AKIBAT PERUBAHAN ZAMAN
00.08 | Diposting oleh
Abu Ghibran Al Ghifari
Perubahan Zaman :
Terjadinya perubahan zaman dapat pula mendorong seorang aktivis dakwah dan tokohnya berbuat isti'jaal. Saat ini kita tengah hidup dalam era globalisasi, di mana segaga sestuatu berlalu dan berjalan dengan cepat dan transparan. Tidak jarang para aktivis dakwah dan para tokohnya larut ke dalam nilai-nilai baru, dan menjad longgar terhadap nilai-nilai yang mula-mula menjadi manhaj perjuangan, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang sekuler.
Kondisi perubahan serba cepat, dan sarana-sarana modern, dan kehidupan yang penuh dengan tawaran duniawi itu, melenakan para aktivis dakwah dan para tokohnya, yang kemudian mereka larut dan menceburkan dengan kehidupan duniawi, dan menikmati kekuasaan, dan melupakan tujuan perjuangan yang semula hendaknya ditegakkannya. Dengan adanya peluang yang didapatkan melalui sarana dan kekuasaannya yang didapatkannya itu, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya kemudian, terjatuh ke dalam perbuatan isti'jaal. Tidak lagi memperhatkan rambu-rambu dakwah. Tetapi, yang diikuti nilai-nalai baru, yang sudah menyimpang dari tujuan dasarnya.
Dorongan Hawa Nafsu:
Banyak aktivis dakwah dan para tokohnya yang walaupun mereka memahami nilai-nilai dan prinsip (mabadi') Islam, tetapi karena sudah terlalu dominan hawa nafsunya, dan tidak dapat bersabar dengan mengekang hawa nafsunya, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya bisa saja terjatuh ke dalam isti'jaal.
Kehidupan modern yang sangat "comfort" (penuh dengan kenikmatan duniawi), mengakikbatkan jiwa-jiwa para aktivis dakwah itu menjadi rapuh. Mereka tidak mampu bertahan dengan badai kehidpan yang penuh dengan warna duniawi. Aksesoris duniawi, seperti kemewahan dalam bentuk benda, mobil, rumah, dan prenak-prenik lainnya, mengikis idealisme. Apalagi, bila aktivis dakwah itu tidak sabar, sudah lama dalam hidup yang serba terbatas, kemudian mendapatkan peluang melalui kekuasaan, kemudian faktor itu menyebabkan aktivis itu bertindak isti'jaal.
Tidak Mengetahui Strategi :
Dalam upaya melancarkan serangan serta menundukkan dunia Islam, pihak musuh memiliki bermacam-macam metode dan strategi. Selain dengan cara unjuk kekuatan, mereka juga kerap mencoba memasukkan orang-orangnya ketengah-tengah kaum Muslimin. Lalu terjadi perpecahan. Mereka memasukkan pemikiran dan nilai-nilai baru, dan kemudian terjadi konflik di dalam gerakan dakwah itu.
Tetapi, yang paling penting mereka ingin mengetahui strategi perjuangan dan gerakan dakwah itu. Mereka ingin mengetahui secara akurat. Kemudian, mereka melaporkan dan menjadi bahan kajian untuk kemudian membuat stategi dan langkah menghancurkan kekuatan harakah dakwah itu.
Mereka memasukkan orang-orangnya ke dalam gerakan dakwah itu. Semisal melakukan "planted agent" (agen yang ditanam) ke dalam gerakan itu, dan kemudian mereka memporak-porandakan gerakan dakwah itu sampai hancur. Bahkan, tidak jarang musuh, semisal Yahudi,menanamkan ke dalam gerakan orang-orangnya untuk menyusup, dan kemudia menciptakan kondisi pemikiran, yang kemudian tokoh-tokoh itu, mengubah dan menyelewengkan tunjuan dari gerakan dakwah itu. Sehingga, gerakan itu gagal mencapai tujuannya.
Inilah ancaman dari isti'jaal yang kadang-kadang para pelaku gerakan dakwah tidak menyadari kondisi seperti itu. Apalagi, jika kondisi gerakan itu, jumud dan ditanamkan taklid, dan tidak dibiasakan pengikutnya untuk berpikir dan mengalisis segala persoalan, dan kesempatan itu hanya diberikan kepada para tokohnya. Maka sangat dengan mudah gerakan itu cenderunga isti'jaal.
Maka dengan cara itu, para tokohnya dapat bertindak apa saja, dan kemudian gerakan itu melakukan penyimpangan, sementara itu, para pengikutnya masih menyakini gerakan dakwah itu masih dijalannya yang benar. Ini yang menyebabkan kebangkrutan gerakan dakwah itu. (sumber : eramuslim)
Terjadinya perubahan zaman dapat pula mendorong seorang aktivis dakwah dan tokohnya berbuat isti'jaal. Saat ini kita tengah hidup dalam era globalisasi, di mana segaga sestuatu berlalu dan berjalan dengan cepat dan transparan. Tidak jarang para aktivis dakwah dan para tokohnya larut ke dalam nilai-nilai baru, dan menjad longgar terhadap nilai-nilai yang mula-mula menjadi manhaj perjuangan, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang sekuler.
Kondisi perubahan serba cepat, dan sarana-sarana modern, dan kehidupan yang penuh dengan tawaran duniawi itu, melenakan para aktivis dakwah dan para tokohnya, yang kemudian mereka larut dan menceburkan dengan kehidupan duniawi, dan menikmati kekuasaan, dan melupakan tujuan perjuangan yang semula hendaknya ditegakkannya. Dengan adanya peluang yang didapatkan melalui sarana dan kekuasaannya yang didapatkannya itu, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya kemudian, terjatuh ke dalam perbuatan isti'jaal. Tidak lagi memperhatkan rambu-rambu dakwah. Tetapi, yang diikuti nilai-nalai baru, yang sudah menyimpang dari tujuan dasarnya.
Dorongan Hawa Nafsu:
Banyak aktivis dakwah dan para tokohnya yang walaupun mereka memahami nilai-nilai dan prinsip (mabadi') Islam, tetapi karena sudah terlalu dominan hawa nafsunya, dan tidak dapat bersabar dengan mengekang hawa nafsunya, maka para aktivis dakwah dan para tokohnya bisa saja terjatuh ke dalam isti'jaal.
Kehidupan modern yang sangat "comfort" (penuh dengan kenikmatan duniawi), mengakikbatkan jiwa-jiwa para aktivis dakwah itu menjadi rapuh. Mereka tidak mampu bertahan dengan badai kehidpan yang penuh dengan warna duniawi. Aksesoris duniawi, seperti kemewahan dalam bentuk benda, mobil, rumah, dan prenak-prenik lainnya, mengikis idealisme. Apalagi, bila aktivis dakwah itu tidak sabar, sudah lama dalam hidup yang serba terbatas, kemudian mendapatkan peluang melalui kekuasaan, kemudian faktor itu menyebabkan aktivis itu bertindak isti'jaal.
Tidak Mengetahui Strategi :
Dalam upaya melancarkan serangan serta menundukkan dunia Islam, pihak musuh memiliki bermacam-macam metode dan strategi. Selain dengan cara unjuk kekuatan, mereka juga kerap mencoba memasukkan orang-orangnya ketengah-tengah kaum Muslimin. Lalu terjadi perpecahan. Mereka memasukkan pemikiran dan nilai-nilai baru, dan kemudian terjadi konflik di dalam gerakan dakwah itu.
Tetapi, yang paling penting mereka ingin mengetahui strategi perjuangan dan gerakan dakwah itu. Mereka ingin mengetahui secara akurat. Kemudian, mereka melaporkan dan menjadi bahan kajian untuk kemudian membuat stategi dan langkah menghancurkan kekuatan harakah dakwah itu.
Mereka memasukkan orang-orangnya ke dalam gerakan dakwah itu. Semisal melakukan "planted agent" (agen yang ditanam) ke dalam gerakan itu, dan kemudian mereka memporak-porandakan gerakan dakwah itu sampai hancur. Bahkan, tidak jarang musuh, semisal Yahudi,menanamkan ke dalam gerakan orang-orangnya untuk menyusup, dan kemudia menciptakan kondisi pemikiran, yang kemudian tokoh-tokoh itu, mengubah dan menyelewengkan tunjuan dari gerakan dakwah itu. Sehingga, gerakan itu gagal mencapai tujuannya.
Inilah ancaman dari isti'jaal yang kadang-kadang para pelaku gerakan dakwah tidak menyadari kondisi seperti itu. Apalagi, jika kondisi gerakan itu, jumud dan ditanamkan taklid, dan tidak dibiasakan pengikutnya untuk berpikir dan mengalisis segala persoalan, dan kesempatan itu hanya diberikan kepada para tokohnya. Maka sangat dengan mudah gerakan itu cenderunga isti'jaal.
Maka dengan cara itu, para tokohnya dapat bertindak apa saja, dan kemudian gerakan itu melakukan penyimpangan, sementara itu, para pengikutnya masih menyakini gerakan dakwah itu masih dijalannya yang benar. Ini yang menyebabkan kebangkrutan gerakan dakwah itu. (sumber : eramuslim)
GENDER MENURUT ISLAM
19.22 | Diposting oleh
Abu Ghibran Al Ghifari
Penulis pada suatu waktu diminta untuk memberikan materi pada acara yang diadakan oleh satu LSM, dan mereka meminta penulis untuk menyampaikan materi tentang Gender dalam Islam. kebetulan pada saat itu diundang pula Pendeta dan TOGA lainnya, dengan peserta mayoritas Katolik dan Protestan, inilah diantara materi yang penulis sampaikan :
Perbedaan pendapat tentang "Gender" selalu hangat untuk diperdebatkan, oleh kalangan agamawan, akademisi, politisi bahkan ibu rumah tangga. Umumnya perdebatan yang terjadi terkait masalah batasan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban dalam setiap aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kata "Gender" sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan pengkajinya. Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Webster's New World Dictionary, mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Selanjutnya, H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "Jender". Gender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan". Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya (An-zhimah Al-Mujtama). Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Terhadap pria dan wanita, Islam bersikap demikian egaliter. Islam secara tegas menolak hierarki berdasarkan gender di tengah-tengah masyarakat. Pria bukanlah warga kelas satu dan wanita bukanlah warga kelas dua. Pola hubungan pria-wanita dalam Islam adalah berdasarkan kemitraan dalam ketakwaan dan kebajikan, bukan relasi majikan dengan bawahan. Sebab, secara fitri, manusia, baik pria maupun wanita, diberi potensi kehidupan yang sama oleh Allah Swt. Kebutuhan jasmani, naluri, dan akal keduanya adalah setara. Di depan hukum syariat, kedudukan pria dan wanita adalah juga setara. Mereka adalah mukallaf yang memiliki tanggung jawab untuk menjalankan syariat Allah Swt. Dalam berbagai nash, seruan kepada wanita sama dengan seruan yang ditujukan kepada pria, baik dengan sebutan “manusia” atau “orang-orang yang beriman”.
Hubungan pria dan wanita pada institusi pernikahan sendiri lebih dari sekadar hubungan kemitraan. Dalam pandangan Islam, seorang istri adalah sahabat (shâhibah) suami dalam keluarga. Secara bersama, dengan jalinan ikatan pernikahan, mereka wajib membangun keluarga dengan peran dan tanggung jawab yang telah ditentukan oleh syariat. Seorang suami berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sementara wanita adalah seorang ibu dan ‘manajer’ rumah tangga mereka. Pada wanita, juga ada hak penyusuan dan pengasuhan anak. Berbagai nash dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin yang menunjukkan bahwa kaum ibu memiliki hak pemeliharaan bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Diantara nash (dalil) Al-qur’an yang menyatakan hal tersebut adalah:
“ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, ....”. (Al-Ahqaaf:15)
Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan. Hal ini adalah sesuatu yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami pria. Al-Qur’an menegaskan :
” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqoroh:228)
Kelebihan itu adalah Qowamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Namun peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Islam menekankan pentingnya nasehat dan persetujuan bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi kita contoh:
” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (QS. Albaqarah:233)
Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik danTpersahabatan.
“Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan), bahkan ada yang mengadukan suami mereka langsung kepada Rasulullah - sehingga Rasulullah menasehati dan jika sudah tidak bisa di satukan mereka diperbolehkan berpisah dengan baik-baik. Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkan.
“Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan), bahkan ada yang mengadukan suami mereka langsung kepada Rasulullah - sehingga Rasulullah menasehati dan jika sudah tidak bisa di satukan mereka diperbolehkan berpisah dengan baik-baik. Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkan.
Meski kesetaraan pria dan wanita adalah hal yang hakiki, tetapi tetap tidak bisa dipungkiri adanya realitas perbedaan biologis dan karakter di antara mereka berdua. Perbedaan itulah yang kemudian akan membedakan peran mereka dalam kehidupan publik dan domestik. Ketidaksamaan itu tidaklah datang dari suatu budaya atau tata nilai tertentu, tetapi justru merupakan bagian yang secara inheren telah melekat pada mereka sebagai bagian dari proses penciptaan. Dengan demikian, adanya sejumlah hukum syariat yang secara khusus ditujukan kepada kaum wanita ataupun pria adalah suatu kemestian. A-Qur’an memberikan pandangan optimis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'raaf/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka"(Q.,S. Al-Baqarah/2:187). Jika dilihat dari beberapa ayat diatas, maka Islam sangat memberikan perhatiannya terhadap keadilan antara laki-laki dan perempuan, semua di mata Allah SWT akan sama, kecuali dalam amalnya.
Demikian Islam memberikan kebebasan kepada perempuan yang bisa beraktivitas dalam politik, ekonomi dan sosial untuk bergerak di dalamnya, tetapi kemudian Islam memberikan nasihat kepada perempuan untuk tetap memberikan perhatian dan melakukan tindakan konkrit untuk selalu menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, pendidikan anak dan menjaga harta keluarga, hal ini harus dilakukan bahkan sesibuk apapun perempuan di luar rumah tangga. (dari berbagai sumber)
" Membangun Kebersamaan "
19.15 | Diposting oleh
Abu Ghibran Al Ghifari
Persaudaraan Sejati, demikianlah isu sentral yang diangkat Jurnal Kantor Departemen Agama Kabupaten Timor Tengah TTU dalam terbitan edisi perdananya. Persaudaraan sejati adalah persaudaraan yang tidak mengenal batas, persaudaraan yang bersumber dari kasih sayang yang tulus, jiwa yang bersih dan hati yang ihklas. Tuhan tidak membeda-bedakan bangsa, suku, warna kulit, kaya, miskin, jenis kelamin maupun agama. Yang Tuhan inginkan adalah bagaimana dengan perbedaan tersebut kita bersaudara dan saling melengkapi. Orang Kupang bilang :
KITONG SAMUA BASUDARA, Mengapa ?
Karena, kita punya pencipta yang sama yaitu Allah Tuhan Yang Maha Esa,
Kita punya nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa,
Kita punya tempat tinggal yang sama yaitu dunia yang fana,
Kita punya tempat kembali yang sama yaitu alam akhirat,
Kita punya tugas pokok yang sama di bumi Allah ini, yaitu beribadah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa,
dan yang terakhir tapi tidak boleh dilupakan adalah :
Kita semua akan mati dan yang kita bawa hanya amal dan ibadah kita yang diperhitungkan di Yaumil Akhirat kelak.
Orang bijak mengatakan :
” Tiada Kedamaian tanpa kerukunan,
Tiada Kerukunan tanpa Toleransi,
Tiada Toleransi tanpa Kasih sayang,
Dan Kasih Sayang inilah salah satu sumber persaudaraan sejati”.
Pemahaman dan penafsiran teologi agama harus senantiasa mengedepankan semangat universal dari nilai-nilai ketuhanan, keagamaan dan kemanusiaan. Ini haruslah menjadi agenda sangat penting bagi setiap agama. Tuhan tidak memaksa hamba-Nya untuk beragama tertentu, sehingga tidak dibenarkan seseorang memaksakan kepercayaannya / agamanya kepada orang lain yang sudah beragama. ”TTU 2010 Umat Beragama Indah Rukun Mengharum” inilah cita-cita kita untuk saling menghargai dan menghormati inter dan antar umat beragama. Mari kita membangun kebersamaan dalam perbedaan. Kita tidak perlu membedakan hal-hal yang sama dan tidak menyamakan yang berbeda dalam keyakinan agama kita masing-masing.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ”(QS. Al-Hujaraat:13). Semoga dengan kesadaran baru dalam memaknai hidup dan agama, kita mampu menjadikan diri kita menjadi orang yang humanis, toleran dan penuh kasih sayang terhadap sesama, sehingga persaudaraan sejati yang kita cita-citakan bukan hanya menjadi angan-angan saja tapi juga dapat terealisasi dalam kehidupan nyata kita sehari-hari. (sumber : Kanwil Kemenag Prop. NTT)
Jumat, 06 Mei 2011
WAKTU : HARGAILAH SEBELUM DATANG PENYESALAN
19.22 | Diposting oleh
Abu Ghibran Al Ghifari
“ Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (kebajikan) dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(QS. Al Ashr: 1-3).
Orang-orang yang menyia-nyiakan waktu adalah orang yang rugi dalam semua aspek, karena waktu adalah sesuatu yang terus berjalan. Ketika sudah lewat tidak mungkin dapat diulang kembali, menghadapi waktu secara sia-sia akan gampang terjadi despiritualisasi dan demoralisasi bagi jiwa yang bersangkutan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa barangsiapa yang hari ini lebih daripada hari kemarin, dialah yang beruntung. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin maka dialah yang merugi, dan kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin (amal kebaikannya) maka dialah orang yang celaka.
Dalam ruang dan waktu yang ada, terdapat banyak tipe manusia dalam berhadapan dengan waktu. Agar jangan terjebak, ada baiknya kita mengenal dan mengingat kembali beberapa karakteristik waktu. Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan tiga karakteristik waktu, yaitu :
Pertama, Waktu itu cepat berlalu. Banyak manusia merasa telah menghabiskan waktu yang lama dalam hidup di dunia. Sehingga, merasa puas dengan kebaikan yang telah dilakukannya tanpa ada keinginan untuk menambahnya lagi, atau sering menunda pekerjaan karena menganggap masih punya waktu yang panjang, padahal dalam Islam Allah SWT telah berfirman : “ Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan sebentar saja diwaktu sore atau pagi hari” (QS. An-Naziat:46).
Kedua, Waktu yang telah berlalu tidak dapat kembali dan diganti. Ketiga, Waktu adalah barang termahal dalam kehidupan seseorang mulai ia lahir sampai menjelang ajal merupakan waktu itu sendiri. Dengan demikian, setiap aktifitas kehidupan adalah merupakan harga dari sebuah penggunaan waktu. Hasan Al Bisri (seorang ulama besar) mengatakan : “Hai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah merupakan kumpulan dari hari ke hari, setiap kali hari berlalu akan berlalu pula bagian umurmu”. Shabat Ali Bin Abi Thalib ra berkata : waktu itu laksana pedang. Bila kamu tidak menggunakannya dengan baik, ia akan membunuhmu (dengan penyesalan dan kesedihan).
Dalam pandangan Islam tidak ada pemisahan antara masa lalu, masa kini dan yang akan datang, ketiga rentang waktu tersebut merupakan kontribusi dalam menjalani kehidupan. Masa lampau adalah cermin untuk melakukan aktifitas. Tidak ada alasan kadaluarsa dalam mengambil hikmah. Sejarah membuktikan bahwa banyak orang sukses belajar dari kegagalan masa lalu. Masa lalu adalah alat ber-muhasabah (introspeksi diri) di mana manusia dapat menanyakan pada dirinya, kenapa harus berbuat demikian; mengapa selalu menunda kebaikan; dan berbagai pertanyaan demi sebuah kemajuan untuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah rancangan bagi manusia untuk berencana. Meski semu, masa yang akan datang merupakan sesuatu yang berharga dan tidak boleh diabaikan. Buatlah cita-cita, harapan dan tujuan yang terbaik, agar kita punya semangat untuk menggapainya dengan beramal dan bekerja keras.
Berhadapan dengan masa kini, dalam sebuah hadits Rasululllah SAW bersabda : “ Apabila hari akhir sedang berlangsung, sedang di tangan seseorang dari kamu masih ada pohon yang akan di tanam, maka seandainya ia masih sempat untuk menanamnya hendaklah ia menanamnya”.
Dalam hadits tersebut tersirat sikap optimis manusia memandang hidup, sekaligus mengisyaratkan bahwa etos kerja manusia beriman yang luar biasa.
Diantara tiga rentang waktu itulah orang beriman berada. Ia bisa bekerja dengan evaluasi masa lalu dan menakar pekerjaannya sesuai dengan tujuan masa yang akan datang.
Waktu adalah sesuatu yang berharga dan tinggi nilainya. Waktu kalau boleh diibaratkan bagaikan piring putih, bersih dan sangat mahal harganya, apakah pantas piring tersebut kita isi dengan sampah atau sesuatu yang kotor ? Jawabanya tentu TIDAK, begitupun dengan waktu yang kita punya sekarang ini.
Pertanyaannya kini, Sudahkah kita menggunakan waktu dengan baik ?.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
ISTI'JAL Menurut bahasa, kata isti’jal, i’jal, dan ta’ajul memiliki satu arti, yaitu : menuntut sesuatu dikerjakan atau diselesaik...
-
Materi ini, ana dapatin di : http://www.mimbarpenyuluh.com/2011/07/rincian-tugas-pokok-penyuluh-agama.html. untuk lebih jelasnya coba baca ...
-
“ Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (kebaj...
-
jam Kaligrafi Ramadhan Karim ukuran default: width: 200 Height: 200 silahkan ubah ukuran default nya sesuai dengan kebutuhan di web/blo...
-
Penulis pada suatu waktu diminta untuk memberikan materi pada acara yang diadakan oleh satu LSM, dan mereka meminta penulis untuk menyampai...
-
Persaudaraan Sejati, demikianlah isu sentral yang diangkat Jurnal Kantor Departemen Agama Kabupaten Timor Tengah TTU dalam terbitan edisi...
-
Perubahan Zaman : Terjadinya perubahan zaman dapat pula mendorong seorang aktivis dakwah dan tokohnya berbuat isti'jaal. Saat ...
-
Rukun Khutbah Jumat Rukun Khutbah Jum’at Rukun khutbah Jum’at dalam Madzab Syafi’i, 1. Memuji kepada Allah (Dengan membaca: “al-hamdulil...
-
(perbedaan penetapan rukun khutbah dalam 4 Madzhab) Peranyaan dari Sudarmawan assalamu alaikum, kaif halk ustadz,smg tetap d...